Cerbung PART I

 

SEBELUM AKHIRNYA TUHAN MENGAMBIL ISTERIKU…

 

“Aku tidak mau!” Teriak Maia saat aku mengajaknya mengunjungi rumah Nenek. Tapi aku terus saja memaksanya. Menyeretnya menuju garasi.

“Aku tidak mau, tolong, jangan paksa aku,” ucapnya di antara isak tangisnya. Kini, tak lagi kutemukan sosok Maia yang keras kepala. Dia berwujud perempuan pengemis belas kasih. Aku tak tega, kutarik tubuhnya dalam pelukanku.

“Aku tak mau bertemu dengannya,” ucapnya terbata di tengah pelukan kami.

“Kenapa, Sayang? Kita ke sana untuk menjenguk Nenek, bukan untuk menemuinya,” tanyaku dengan nada lembut.

“Tapi aku tidak mau bertemu dengannya, aku tidak suka. Cukup… cukup dulu saja dia menyayat hatiku,” jelas Maia yang telah melepaskan pelukan kami. Kutatap dengan jelas, ada kobaran api kebencian dalam sorot matanya.

Bertahun aku menjalin hubungan dengan Maia, sampai akhirnya aku menikahinya, kupahami sifat dan watak Maia. Maia adalah sosok yang keras kepala, dia bukan contoh yang pemaaf, Maia cukup perasa dan satu lagi, bila sudah mendendam, kupastikan Maia seperti orang yang kehilangan akal sehatnya. Tapi di balik semua itu, aku tahu Maia itu tidak tegaan, dia punya sikap welas asih, yaaa kecuali bila dia sudah tersakiti, keegoisannya mulai merajai.

Yang aku ingat dari Maia kenapa dia enggan berkunjung ke rumah Nenek hanyalah satu, ucapan dan omongan dari Pakdhe dan anak-anaknya yang pernah menyinggung hati Maia. Kala itu, pengantin baru, kami belum punya rumah baru, sementara Dirga—anaknya Pakde—yang baru saja menikah, sudah punya rumah baru. Entah bagaimana Pakde dan Budhe bercerita hingga menyinggung Maia, yang mulai bicara agar Maia bersikap hemat supaya cepat membeli rumah, hingga semua itu ternyata menjadi akar kebencian di hati Maia.

Maia banting tulang ke sana kemari, di tahun keduapernikahan kami, kami bisa membangun rumah mewah yang besar, serta mobil yang Dirga belum punya. Maia merasa bangga atas perolehan itu. hingga lain seketika Maia mau kembali berkunjung ke rumah Nenek dan berjumpa dengan Padhe dan Budhe. Kala itu isterinya Dirga baru saja melahirkan, sementara Maia belum mampu memberikanku keturunan.

“Perempuan itu bisa disebut wanita kalau dia sudah bisa melahirkan keturunan,” ucapan Budhe yang akhirnya meninggalkan noda di benak Maia.

Kami sudah berusaha, sudah meminta pada yang Kuasa, tapi jika waktu memang belum berpihak, kami bisa apa?

Hingga tahun ke tiga pernikahan kami, materi kami bertumpuk tapi Tuhan belum memberikan kami seorang buah hati. Sampai sekarang. Dan sampai sekarang pula, Maia enggan berjumpa dengan Pakdhe dan Budhe yang kebetulan satu atap dengan Nenek…

Argh. Entahlah. Jujur saja, Maia, aku inginkan kau melunakkan hatimu, Sayang J…

Witri Prasetyo AjiUncategorizedCerbung PART I   SEBELUM AKHIRNYA TUHAN MENGAMBIL ISTERIKU...   “Aku tidak mau!” Teriak Maia saat aku mengajaknya mengunjungi rumah Nenek. Tapi aku terus saja memaksanya. Menyeretnya menuju garasi. “Aku tidak mau, tolong, jangan paksa aku,” ucapnya di antara isak tangisnya. Kini, tak lagi kutemukan sosok Maia yang keras kepala. Dia berwujud perempuan pengemis...

Comments

comments