BILA CINTA TAK LAGI UNTUKKU

            “Maafkan aku Li, aku tidak bisa,” ucapan Gilang yang membuatku terpana. Aku hanya menatapnya dengan tatapan hampa, sementara dia terus saja menunduk dan enggan menatapku.

            Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, dia akan berkata seperti itu kepadaku. Hati kami katanya menyatu, 5 tahun bukan waktu yang cukup singkat, janji-janji keabadian selalu Gilang dengungkan. Tapi kenyataannya?

            Salahkah jika aku menuntut kepastian? Aku seorang wanita, tak selamanya mampu menunggu dan bersedia dijadikan sosok pacar saja. Aku butuh kejelasan. Tapi saat kejelasan itu aku tanyakan, kenapa dia berkata tidak bisa?

            Katanya, dia mencintaiku. Katanya, hanya aku yang di hatinya. Dan katanya, dia akan selamanya menjagaku, bersamaku dan menemaniku. Tapi faktanya?

            “Kenapa Lang? Kenapa tidak bisa?” Aku terus mendesaknya. Tetap menatapnya dengan tatapan hampa. Tak peduli dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.

            Gilang hanya menunduk, tak menjawab. Keheninganpun mulai menghinggapi. Sementara suasana taman sudah mulai sepi lantaran gelap sudah datang. Kami berdua tetap dalam diam, tiada yang bersuara, tiada pula yang beranjak pergi.

***

            Aku masih tak percaya, benarkah jika kita sudah berpisah? Lima tahun bersama, lima tahun dalam ucapan cinta dan lima tahun dalam perjuangan untuk bertahan akhirnya berakhir sudah. Dan apakah semua memang sia-sia belaka?

            “Li, aku janji, aku tak akan pernah meninggalkanmu,” ucapan Gilang kepadaku disaat anniversarry kami yang ke-3. “Aku janji, aku bakalan berusaha menjadi lelaki yang sukses, melamarmu dan bakalan membuat mamamu bangga padaku. Aku janji Li, aku janji,” tambahnya.

            Mengingat semuanya itu, aku hanya mampu tersenyum simpul. Semua hanya janji palsu belaka. Nyatanya, sekarang Gilang sudah meninggalkanku dan tak lagi kudengar kabar tentangnya.

            Setelah lima tahun berlalu, setelah lima tahun bersama dan setelah dia benar menjadi lelaki yang sukses. Janjinya tak lagi diingatnya, semua hanya fatamorgana.

            “Li,” kembali kuingat lirih suaranya setiap memanggilku. Suara itu selalu menghiasi hari-hariku. Namun kini hatiku harus tegas melupakannya. Karena hariku tak akan lagi mendengar suara lirih itu.

            Argh. Menangis. Kenapa hati ini terasa sesak? Kenapa rasanya sulit sekali melupkannya? Padahal nyatanya dia meninggalkanku begitu saja, tanpa alasan dan tanpa kesalahan?

            Apa lelaki memang suka begitu? Datang dan pergi sesuka hatinya?

            Kusobek-sobek fotoku saat bersama Gilang. Aku ingat dengan jelas, foto ini diambil empat tahun yang lalu. Saat kami baru setahun jadian dan hubungan kami masih hangat-hangatnya. Janji-janjinya juga masih setinggi angkasa, dan bodohnya aku yang percaya begitu saja.

            “Li, terima kasih ya, kamu sudah menerima aku apa adanya,” ucapnya yang menggenggam tanganku lalu mencium tanganku. Dan akhirnya kami berpelukan.

            Waktu itu, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia dan paling beruntung. Berbeda dengan sekarang, aku merasa menjadi sosok yang sangat tak berdaya dan begitu terluka. Baru kali ini aku merasa kehilangan cinta. Sakit ternyata, dan aku belum tahu apa obatnya.

            “Obatnya orang sakit hati itu ya jatuh cinta lagi,” samar kudengar suara itu. Diandra—sahabatku—pernah mengucapkan kata-kata itu disaat Amelia baru putus dengan kekasihnya. Mengingat ucapan itu, aku hanya mampu tersenyum simpul. Bagaimana aku bisa jatuh cinta disaat aku merasakan patah hati? Membayangkan tentang cinta saja aku sudah muak apalagi aku harus memulai cinta kembali.

            Aku terus mengusap air mata yang enggan berhenti mengalir. Dada semakin sesak. Rasanya aku ingin hilangan ingatan saja. Tak mau mengingat semua tentang Gilang. Semua kisah lima tahun yang berakhir sudah.

***

            “Li, kok sendirian? Gilang mana?” Tanya Diandra padaku disaat aku menghadiri pesta pernikahannya. Ya, sahabatku yang satu ini memang beruntung. Mendapatkan lelaki kaya kebanggaan keluarga, lelakinya juga tampan. Ya ya ya, meski aku tahu kalau Diandra seorang petualang cinta dan selalu bermain cinta. Nyatanya karma tak menghampirinya, dia justeru mendapat keberuntungan. Sementara aku? Aku seorang setia dan mau menerima cinta itu apa adanya, nyatanya aku justeru ditinggalkannya.

            Aku hanya tersenyum. Mata ini mungkin sudah beraca-kaca, namun sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak jatuh berderai. Aku malu.

            “Dia sibuk. Banyak sekali pekerjaannya,” jawabku menutupi. Aku tak mungkin menceritakan semuanya pada Diandra di hari bahagianya.

            “Oh,” ucapnya. “Oh yaaa, bentar ya, aku ke tamu yang lainnya dulu,” ulanjut Diandra lalu meninggalkan aku.

            Aku hanya mengangguk. Menahan sepi di antara keramaian mereka yang berpasangan. Sementara aku hanya sendiri seperti orang linglung. Teman-temanku sudah berpsangan bahkan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai buah hati. Melihat semuanya itu, baru aku sadar jika aku memang sudah tak muda lagi.

            “Apa aku keterlaluan jika aku menuntut pernikahan pada Gilang?” Tanyaku pada diri sendiri. Aku hanya menelan ludah dan tatapanku pun terhenti.

            “Gilang?” Panggilku lirih.

            Lelaki yang mengenakan jaz itu, eksekutif muda yang di sampingnya  bergandengan dengan seorang gadis yang tak asing dalam pandanganku. Aku tahu, gadis itu memang lebih muda dariku, lebih cantik dariku, tapi aku yang mengantarkan Gilang dalam kesuksesannya seperti saat ini.

            Mereka memang serasi. Mereka juga terlihat bahagia, bahagia di atas air mata yang setiap malam menemani malamku.

            Aku tak sanggup melihatnya. Sebelum pesta usai, aku pergi dan bahkan tak sempat berpamitan pada Diandra dan keluarganya.

            Semua tersa ngilu dan semakin menyesakkan. Aku seolah kembali menemuan kepingan puzzle, alasan kenapa Gilang akhirnya meninggalkanku begitu saja. Kepingan kali ini tak pernah kubayangkan dan sama sekali tak pernah terpikirkan. Gadis muda yang tak lain adalah sepupuku itu ternyata pilihan Gilang.

            Iya, aku tahu, Prameswari atau lebih dipanggil Wari memang sosok gadis yang cantik, pintar dan baik. Ah, masihkah aku menganggapnya baik setelah dia mengambil pujaan hatiku dari rengkuhanku?

            Ah cinta, jika cinta itu memang tak lagi tercipta untukku, kenapa harus untuknya? Apakah memang sudah tak ada lagi gadis baik yang bisa menjadi penggantiku? Kenapa harus sepupuku? Kenapa, Gilang?

Witri Prasetyo AjiCerpenBILA CINTA TAK LAGI UNTUKKU             “Maafkan aku Li, aku tidak bisa,” ucapan Gilang yang membuatku terpana. Aku hanya menatapnya dengan tatapan hampa, sementara dia terus saja menunduk dan enggan menatapku.             Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, dia akan berkata seperti itu kepadaku. Hati kami katanya menyatu, 5 tahun bukan waktu...

Comments

comments