TENTANG SEORANG MANTAN

Jika kau tak bisa menjaga hatiku soal mantan, aku juga bisa membawa mantanku dalam kehidupan kita

Jika mantan memang lebih baik dari pasangan, kenapa dulu tak menikah dengan mantan saja?

 

Mungkin, mantan memang lebih menawan

Etapi kamu salah, jika mantan kau anggap lebih baik dari pasangan

 

***

“Bagus dong kalau mantannya Mas Randy itu satu almamater sama dia, itu tandanya mantannya Mas Randy pinter,” ucap Kayla kepadaku.

Aku hanya terdiam. “Terus, kamu mau bilang kalau isterinya Mas Randy bego gitu? Secara kan almamater isterinya Mas Rendy enggak lebih baik dari almamater Mas Randy?” Tanyaku dengan nada sedikit sengit.

Kayla terdiam. Pun denganku.

“Bisa enggak, kalian enggak ngebahas mantan?” Mas Randy akhirnya membuka suara.

“Cuma orang bodoh yang melepaskan sesuatu yang lebih baik demi sesuatu yang buruk,” tangkasku dengan ketus.

Kalau boleh jujur, aku merasa tersinggung dengan ucapan Kayla. Aku tak suka dibandingkan dengan mantannya Mas Randy. Jika mantannya Mas Randy memang jauh lebih baik dariku, kenapa Mas Randy harus menikahiku? Buat apa diperisteri kalau pada akhirnya hanya akan dibandingkan? Bukan untuk pertama atau kedua kalinya aku mendapatkan perbandingan dengan mantannya Mas Randy, tapi untuk kesekian kalinya.

Tanpa berucap sepatah kata, aku langsung beranjak ke kamar. Tak peduli dengan sepupu suamiku itu yang akan tersinggung. Kalau mau dibilang aku tak dewasa, silahkan saja. Toh aku hanya manusia biasa yang punya keterbatasan.

“Ren, plisss…” ucap Mas Randy yang mengejarku.

“Mas, keluarga besar kamu itu lebih setuju jika kamu sama Meyla, bukan sama aku. Dan, ini bukan pertama kalinya aku dibandingkan dengan mantan kamu yang cantik, pinter, kaya, baik, terus apalagi?” Marahku dengan nada meninggi.

“Dia Cuma masa lalu Ren, aku sudah memilih kamu!” Mas Randy kembali meyakinkanku untuk kesekian kalinya.

“Memilih untuk dibandingkan? Memilih untuk selalu disakit?” Tanyaku dengan nada melemah.

Aku memandang lekat Mas Randy. Begitupun dengannya. Mata kami saling memandang. “Kalau aku boleh jujur, aku lelah Mas menjadi isterimu, aku capek,” ucapku dengan nada begitu pelan.

Kurasakan sesak yang begitu mendalam. Aku lelah mendamping Mas Randy tapi tak pernah dihargai. Aku lelah…

***

Tiada yang berjalan mulus dalam sebuah kehidupan berumah tangga. Begitupun dengan rumah tanggaku yang pada akhirnya harus terhenti pada satu titik, perceraian. Sakit, luka, keegoisan, merambah menjadi satu kata yang tak mampu untukku definisikan.

Banyak alasan yang pada akhirnya membawa kami pada satu titik perceraian. Ternyata, cinta saja tak cukup kuat untuk kami bertahan. Ternyata, keluarga dan mantan begitu kokoh hingga cinta kami tak mampu menerjangnya. Dan akhirnya, buah cinta kami yang harus menjadi korban dalam perjalanan ini.

Jika aku boleh berkata jujur, sungguh aku terluka ketika melihat anakku harus kehilangan kebersamaan bersama kedua orangtuanya. Tapi, jika kutoleh cerita lain? aku tak mampu setiap saat mendengar perbandingan antara aku dan Meyla. Aku tak mampu jika pada akhirnya aku harus membagi suami karena Mayla begitu setia pada Mas Randy.

Ya, kukagumi kesetiaan Mayla pada Mas Randy. Tapi, maaf, caranya yang elegant untuk kembali merebut Mas Randy itu sungguh memuakkan. Mendekati keluarga besar Mas Randy dengan memperlihatkan segala kelebihannya, begitu sok anggun dengan memperalat ibunya yang tengah sakit dan meminta Mas Randy untuk selalu menjaganya. Argh… di mana nurani mereka? Mereka boleh saja melukaiku, tapi bagaimana dengan anakku?

Masih terbayang jelas permintaan ibunya Mayla pada Mas Randy. Di sebuah kamar VIP di sebuah rumah sakit, wanita separuh baya yang tubuhnya dililiti selang dan alat medis itu meminta maaf pada Mas Randy. Penyesalan dulu menolak lamaran Mas Randy itu tak hanya sebatas maaf, tapi juga sebuah permintaan terakhir yang mengharuskan Mas Randy menjawab iya.

“Jaga Mayla, Ibu titip Mayla,” ucap wanita itu dengan nada terbata sembari menyatukan tangan Mayla dan Mas Randy.

Di depan mataku, seorang ibu melamar Mas Randy untuk anak gadisnya.

Kalian tahu, betapa hancurnya hatiku saat itu? Ditambah lagi keluarga besar suami yang tanpa memikirkan rasaku langsung menerima lamaran itu. Lantas, bagaimana denganku? Dengan anakku?

Aku mengusap air mataku yang kembali menetes. Aku harus melupakan perjalanan itu. Permintaan maaf dan kata cinta dari Mas Randy hanyalah fatamorgana yang harus segera kuenyahkan. Memilih hidup berdua bersama anak dan melanjutkan perjalanan kehidupan di lain kota adalah solusi yang terbaik.

Ya, aku harus kembali berjuang. Memperjuangkan masa depan anakku dan menata kehidupannya. Aku tak mau, di usianya yang ke-5 dia harus memikirkan peliknya kehidupan ini.

***

JOGJA, 5 tahun kemudian

Menjadi seorang janda bukanlah suatu persoalan yang mudah. Selalu ada kata negatif dan prasangka buruk yang menghampiri. Lantas, haruskah kuakhiri status jandaku? Lantas, bagaimana dengan perasaan anakku?

Berperan menjadi seorang ibu sekaligus seorang ayah saja sudah cukup memusingkan, apalagi jika aku harus membagi pikiran dengan pernikahan lagi.

Tidak, lagipula ruang hatiku sudah tak ada tempat untuk lelaki lagi. Hati ini, hanya ada untuk anakku dan anakku. Anak yang kian tumbuh dewasa dan mulai mengerti sulitnya hidup. Anak yang mulai merasa terluka tatkala dia harus mendeskripsikan sosok ayah.

Ya, kenangan 5 tahun silam. Anak lelakiku itu begitu dekat dengan ayahnya. Namun tiba-tiba dia harus merasakan perpisahan dan melepaskan ayahnya untuk orang lain. argh, kalian tak tahu betapa terlukanya aku saat itu dan rasanya aku ingin sekali memuntahkan sumpah serapah pada Mayla dan keluarga besar suamiku.

“Bunda,” panggilan Alif meruntuhkan lamunan yang kembali mengingatkan aku pada luka yang tak kunjung mengering.

“Iya, Nak. Ada apa?” Tanyaku begitu lembut.

Sosok lelaki kecil berusia 10 itu menghampiriku. Duduk di dekatku dan menyerahkan sebuah undangan kepadaku.

“Bunda, besok aku pentas di sekolah. Bunda datang, ya?” Jawab Alif dengan nada meminta.

Aku mengangguk dan memeluknya. Air mata ini kembali menetes. Ingatan masa lalu itu kembali menerjangku.

Alif, anakku dan Mas Randy, sungguh mewarisi bakat ayahnya. Aku ingat dengan jelas, Mas Randy selalu mengajarkan Alif bermain piano. Hingga Alif begitu menyukai piano. Bahkan, setelah berpisah dengan ayahnyapun Alif masih saja menyukai piano dan memintaku mengajarinya piano. Tapi sayang, aku tak pernah bisa bermain piano. Alternatifnya, aku harus bekerja keras dan mengikutkan Alif les piano.

***

Aku hanya ingin memanggilmu, ayah

Disaat aku kehilangan arah….

 

 

Lirik lagu yang Alif nyanyikan itu sungguh mengiris hatiku. Membuatku merasa bersalah karena aku telah memilih jalan perceraian daripada membagi Mas Randy. Tapi ketahuilah, Nak, suatu saat kau akan mengerti kenapa Bunda akhirnya membawamu hidup berdua saja.

Aku kembali mengusap air mata ini. Entah sudah berapa banyak air mataku yang tertetes sia-sia hanya untuk menyesali perjalananku dengan Mas Randy. Entahlah. Aku tak tahu…

Aku hanya berharap, Tuhan akan membawaku pada kebahagiaan dan membuatku hilang ingatan akan masa lalu yang begitu suram.

Setelah Alif pentas, Alifpun langsung menghampiriku. Duduk di dekatku.

“Bunda, maafkan Alif ya? Bunda jangan nangis, Alif sayang sama Bunda. Alif tidak akan pernah ninggalin Bunda,” ucap Alif yang langsung mengusap air mataku. Tak peduli akan beberapa pandangan yang mengarah pada kami.

***

Seperti hari biasa, hari ini aku harus mengisi talkshow di sebuah mall. Argh, profesi sebagai seorng penulis dan blogger ternyata sudah membawaku menjadi seorang pembicara yang kerap diundang ke acara sana-sini. Ya launching buku lah, ngisi acaralah, dan pokoknya cukup menyibukkanku tanpa aku harus menelantarkan Alif.

Dan betapa kagetnya aku, di acara itu aku kembali berjuma dengan cerita cinta masa remaja yang sebenarnya tak ingin lagi aku ingat. Ya, dia datang dan memberikan selamat kepadaku. Dia adalah salah satu sosok terindah yang menghiasi hidupku sebelum akhirnya aku memutuskan menerima pinangan Mas Randy.

“Kau hebat, Ren,” pujinya membuatku tersipu.

Aku hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman.

“Aku sudah membaca karya-karyamu, entah dalam sebuah buku atau tulisan di blogmu. Menginspirasi,” pujinya lagi.

“Kau terlalu berlebihan, Bram,” tangkasku.

“Tapi begitu kan faktanya?”

Aku mengangguk.

Sejenak kami saling bercerita. Hingga kurasa ada getaran masa lampau yang menghampiri. Tapi, harus segera kuenyahkan. Aku tahu, Bram bukan pria lajang lagi. Aku tak mau apa yang menimpaku akan menimpa isterinya. AKU BUKAN MANTAN YANG MEREBUT SUAMI ORANG.

Kupanggil asistenku dan aku menyuruhkan mencari alasan agar aku bisa berlari dari sosok Bram. Aku tak ingin terjebak pada cinta masa lalu. Biarlah mantan cukup menjadi mantan, bukan untuk dijadikan masa depan.

Jika pada akhirnya kau harus bersamanya, maka bersamalah

Jodoh adalah rahasia Tuhan yang tak pernah kutahu jawabnya

Jika kita pernah bersama, biarlah itu menjadi sebuah sejarah

Tapi lupakanlah, jika mengenangnya hanya menorehkan luka

Witri Prasetyo Aji

Ampel, 7 September 2016

Witri Prasetyo AjiCerpenTENTANG SEORANG MANTANJika kau tak bisa menjaga hatiku soal mantan, aku juga bisa membawa mantanku dalam kehidupan kitaJika mantan memang lebih baik dari pasangan, kenapa dulu tak menikah dengan mantan saja? Mungkin, mantan memang lebih menawanEtapi kamu salah, jika mantan kau anggap lebih baik dari pasangan ***“Bagus dong kalau mantannya Mas...

Comments

comments