NIKAH ATAU KULIAH?

 

NIKAH ATAU KULIAH? Pernah lihat kan, iklan di tivi yang pertanyannya, “Nikah atau kuliah?” Jujur, setiap kali menonton iklan itu, hati ini terasa perih dan mata langsung berkaca-kaca. Rasanya saya ingin berteriak sekeras mungkin, marah, memukul apa yang ada di sekeliling saya. Terlihat lebay? Ya. Tapi begitulah keadaannya. Ada luka yang mendalam. Ada peristiwa yang sungguh menjejakkan kesan buruk dan tak akan pernah mampu terlupakan meski semua telah berlalu.

nikah-atau-kuliah


Kejadian 8 tahun yang lalu


8 tahun bukan waktu singkat untuk melupakan suatu kejadian. 8 tahun cukup lama untuk belajar memaafkan sekaligus melupakan. Tapi bagaimana, jika kejadian itu terus menjadi mimpi buruk, terus menjadi momok dan terus berpengaruh pada masa depan? Mampukah terhapus begitu saja? Mampukah memaafkan?

Argh, saat saya mulai menuliskan kisah ini, pilu itu berasa hadir. Tapi, saya akan memulainya. Mungkin sudah saatnya saya mengabadikan sejarah hidup yang nyaris embuat gila hingga menjadikan saya pribadi yang ‘jahat’ seperti saat ini. Iya, saya jahat. Saya bukan Witri 8 tahun yang lalu, Witri yang ceria, murah senyuman, suka menolong tanpa membedakan, selalu berpikir positif dan mudah memaafkan. Saya adalah Witri yang sering terlihat dalam kemurungan, senyum hanya mengikuti apa kata hati, mudah marah karena sangat sensitif, dan selalu berfikir negatif sekaligus sulit sekali memaafkan.


Saya memulai cerita ini…


Saya masih ingat, tahun 2008 saya lulus SMA. Kala itu, Babe hanya mengizinkan saya kuliah di Solo atau Jogja. Tapi sayangnya, jurusan yang Babe inginkan berbeda dengan jurusan yang saya mau. Babe ingin kalau saya menjadi guru atau bidan. Sementara saya, saya lebih suka dunia seni atau sastra, bahkan kalau tidak boleh, saya ingin melanjutkan kuliah di jurusan ekonomi. Mungkin karena saya anak IPS, iming-iming menjadi akuntan sedikit melekat dalam jiwa saya. Padahal, aslinya saya menyukai dunia sastra dan bahasa.

Demi menuruti Babe, sudahlah saya mendaftar SNMPTN di jurusan PGSD. Etapi, saya tidak lolos. Justeru saya malah senang. Karena saya tidak akan kuliah di perguruan. Ya, kala itu saya memang merasa tidak pantas menjadi guru. Alasannya sepele, bagi saya guru itu digugu lan ditiru, harus bisa menjadi panutan di manapun dia berada. Guru bukan sekedar profesi mengajar dan menyampaikan ilmu, tapi guru adalah contoh. Profesi guru terlalu sakral buat saya. Profesi guru itu seolah membelenggu. Ngomong harus diatur, pun soal berpakaian dan bertindak. Padahal, kala itu saya adalah sosok yang kalau ngomong asal nyabalak, suka berekspresi sesuka hati, memakai pakaian kurang bahan. Hallah, pokoknya jauh bangetlah dari sosok seorang guru versi saya.

Saya tahu kala itu Babe sedih. Beliaupun akhirnya menyarankan agar saya kuliah di AKBID. Tapi saya menolak, saya takut dengan darah. Saya meminta izin untuk rehat selama setahun, kuliah tahun depan, mencoba ikut SNMPTN. Lagipula, kala itu saya hidup juga masih dalam pengawasan dokter dan bergantung dengan obat. Saya memilih fokus pada kesehatan dan masa penyembuhan. Babe mengiyakan dan orang tua (Babe dan Mama) berjanji akan membiayai kuliah tahun depan di universitas yang saya mau, etapi hanya sebatas Solo dan Jogja. Sayapun mengiyakannya.


Januari 2009, awal semuanya berubah


Akhir Desember 2008, saya kembali belajar dan mempersiapkan diri untuk ikut SNMPTN tahun depan. Pokoknya saya tidak boleh gagal. Kalaupun gagal, bolehlah ikut swadana (kalau masuk PTN… heheh).

Tetapi satu kejadian terjadi, kala itu Babe malah habis beli tanah. Alhamdulillah ada sedikit rejeki yang Tuhan titipkan.

Namun siapa sangka, asal muasal Babe membeli tanah itu adalah asal mala petaka (bagi saya) itu terjadi. Bapak mertua Embak sepupu datag di suatu sore yang dingin karena gerimis. Pikir saya, mungkin tengah membicarakan soal sapi, karena Babe berjualan sapi. Saya tak menghiraukan apa pembicaraan mereka. Hingga sehabis magrib, Babe meminta saya untuk mengantarkannya pulang, kebetulan rumahnya Cuma di kampung sebelah.

Setelah mengantarkannya, Babe dan Mama mengajak saya berbicara. Katanya, kedatangan Beliau tadi tak lain adalah melamar saya untuk—sebut saja Mr. X. Saya kaget dan tercengang. Saya tahu Mr. X itu orangnya yang mana, tapi saya sama sekali tak mengenalnya. Saya angsung menolaknya, apalagi Babe sudah berjanji akan menguliahkan saya tahun ini.

Babe dan Mama masih tenang. Tapi esok dan esok terus menanyakannya dan jawaban saya masih sama, TIDAK. Hingga akhirnya Mama bertanya, adakah seorang yang tengah dekat dengan saya? ADA. Dia Mr. Y. Keponakannya Padhe. Tapi sebatas dekat, karena kala itu saya habis putus dengan pacar saya.

Waktu terus berlalu, Babe dan Mama terus mendesak. Bila saya menolak Mr. X, bisnis Babe akan diusik. Saya bisa apa? Saya tidak mau tapi terus didesak.

Cerita di belakang saya, ternyata Mr. X ini kekasihnya adik sepupu Mr. Y yang padahal adalah teman SD saya. Orang tua Mr. X tidak merestuinya karena sdik sepupu Mr. Y ini orang tak punya. Selain itu, Mr. X dan Mr. Y ternyata saling bermusuhan. Dan yang lebih menyakitkan, saya adalah perempuan ke-4 yang Mr. X lamar.

Saya hidup dalam kekangan. Babe dan Mama berubah total, saya seperti tak kenal dengan mereka. Entahlah. Saya tak mau su’udzon meski perbedaan itu nyata. Saya dipaksa ke mana-mana harus dengan Mr. X, ganti nomor HP, tidak boleh main sama teman-teman sekampung. Pokoknya seperti burung dalam sangkar emas dan harus melupakan soal kuliah.

Saya tidak tahan. Saya dipisahkan dari Mr. Y. Itu tak mengapa? Tapi kenapa saya tidak boleh kuliah? Saya kabur. Meski sehari dan akhirnya Babe menemukan saya karena saya tetap menjawab telpon dari Beliau. Cerita kabur kala itu saya juga pergi denga Mr. X, tapi yang namanya lelaki tengah merayu, saya suruh apapun pastinya mau hingga dia tak sadar kalau saya telah mengelabuhinya.

Cerita setelah saya kabur, saya bagai anak yang kesurupan. Saya enggan pulang ke rumah. Lalu, hampir seminggu saya dirawat sama tetangga depan rumah. Sebenarnya kami bukan saudara, tapi Beliau tidak punya anak perempuan dan hanya punya satu anak laki-laki. Dari kecil saya sudah dekat dan seperti anak sendiri.

Saya menjadi ketakutan setiap kali bertemu Babe dan Mama. Saya tidak mau pulang. Tapi mereka terus merayu.


Luka itu telah dimulai…


Mr. X memang berjanji tidak akan memaksa saya lagi untuk menjadi isterinya. Tapi dia meworo-worokan ke pelosok desa bahwa saya adalah calon isterinya. Semua teman entah lelaki atau perempuan menjauhi saya, tidak berani berteman dengan saya. Handphone dan sepeda motor juga di sita. Hampir 2 tahun, saya terkurung. Hiburan hanyalah televisi. Saya tidak punya teman meskipun teman sekampung. Saya kehilangan akses dengan sahabat SMA. Pokoknya, dunia terasa begitu kejam. Apalagi semisal saya mau keluar rumah, adik saya harus ikut sebagai mata-mata. Pokoknya, semua gerak-gerik saya itu diawasi dan adek saya pun menjadi adek yang berani dengan saya.

Saya tak perlu menceritakannya secara detail, betapa hancurnya hati saya kala itu. Saya, princess yang selalu Babe manjakan, hampir setiap keinginan saya dituruti, punya banyak kawan dan suka dolan ke sana-kemari. Dalam sekejab semua berubah. Saya seolah menjadi boneka hidup untuk orang tua saya.


Pertengahan 2010, mungkin…


Pertengahan 2010, Padhe mempengaruhi Babe, saya harus kuliah. Perempuan itu kudu pinter. Almarhum Kakek juga terus memprovokasi Babe, saya harus kuliah, bukannya nikah. Dan Babepun menguliahkan saya, tapi hanya di Boyolali dan itupun universitas baru. Jurusan sastra tak ada, yasudahlah saya masuk TI.

Berat. Kuliah di tempat dan jurusan yang tak saya inginkan. Tapi demi sebuah ‘kebebasan’ saya rela.

Saya tahu, kenapa Babe hanya mengizinkan saya kuliah di Boyolali. Babe melarang keras saya ke Solo karena Mr. Y berada di Solo dan dia pernah mengancam saya, dia akan membawa lari saya. Dan jika saya menikah, dia akan merusaknya.

Babe tak ingin hal itu terjadi. Jadi, meski saya hanya kuliah di Boyolali, Babe punya seseorang yang mengawasi gerak-gerik saya.


2011…


Waktu terus berlanjut. Mr. X masih mengumbar kata jika saya adalah calon isterinya. Di masa itu, saya kokoh dalam pendirian, kesendirian lebih baik. Ya, saya jomblo yang sampai dikira saya ini enggak suka lelaki.

Tapi sepertinya, sudah saatnya Tuhan memperlihatkan mana yang baik dan mana yang tidak. Tak semua orang menghujat saya (Saya dihujat karena menolak lamaran dan kabur dari rumah). Mr. X mengahimili seorang perawan tapi tidak dinikahi karena sang perawan bukan anak orang berada.

Dititik itulah, Babe dan Mama yang sebenarnya malu tapi terus menjaga diri agar saya tak menyalahkannya. Mr. X bukanlah lelaki baik-baik. Lelaki yang digadang-gadang tak lebih dari seorang pecundang. Berani berbuat tapi tak berani bertanggung jawab.

Selang beberapa bulan, Mr. X justeru menikahi gadis lain yang lebih berada. Saya bergembira, saya berpesta dengan teman-teman kampung yang dulu diam-diam mau mendengarkan keluh kesah saya tanpa melaporkannya ke Babe dan Mama. Hingga akhirnya, saya bertemu Pak Suami… (cerita ini, Pak Suami sudah tahu dan bahkan mengizinkan saya menuliskannya dalam bentuk novel).


Curahan hati yang terdalam…


Kalau boleh jujur, saya adalah orang yang paling baper ketika ada rekan yang memamerkan cerita masa kuliahnya, saya baper kalau ada yang wisuda dan saya baper kalau ajaran baru tengah dimulai.

Saya memang masih beruntung bisa merasakan kuliah, belum lulus kuliah sudah mendapatkan pekerja di dunia pendidikan pula, seolah cita-cita Babe menginginkan saya menjadi guru itupun terwujud. Tapi tahukah? Almamater saya dipandang sebelah mata. Saya bisa dianggap tidak bisa. Saya mampu tapi dianggap bodoh dan masih banyak hal-hal lain yang membuat saya ngilu.

Iya, saya seharusnya bisa kuliah di universitas dan fakultas yang saya mau, seandainya Mr. X tidak pernah hadir dalam kehidupan saya. Seharusnya Babe menepati janjinya.

Dan saya tahu, saat ini Babe dan Mama juga merasakan luka yang saya rasakan. Menyesalkan pendidikan saya yang sedikit amburadul. Saya tahu, mereka selalu menyuruh saya ikhlas atas semuanya tapi mereka juga terluka seperti saya.

Saya bukan perempuan cantik, bukan pula anak orang kaya. Tapi kala itu, saya bagaikan piala yang direbutkan oleh Mr. X dan Mr. Y hingga mereka mengorbankan masa kuliah saya.

Argh, cerita ini sungguh cerita yang paling berksan (buruk) dan tak akan pernah terlupakan. Kehilangan kesempatan berkuliah. Saya telah kehilangan waktu. Dan waktu tak akan pernah mampu terbeli dengan materi.

Saya bahkan pernah menyumpahi anak-anak mereka. Saya tahu anak-anak mereka tak salah, tapi kala itu, saya juga punya salah apa terhadap mereka?

Sudahlah, saya enggan bercerita lebih panjang. Saya tidak mau menangis lagi… Iya, tidak mau. Saya ingin berbahagia meski sejarah itu selalu terpatri kuat dalam ingatan. Meski suami selalu menghibur dan selalu menjadikan alasan karena saya gagal kuliah maka kami berjumpa.

Ya, semua adalah takdir…

Itu adalah cerita yang paling berkesan (buruk) dan tak terlupakan sepanjang hidup saya. Oh ya, saya mau memberikan ucapan selamat ulang tahun buat Mbak Ira :

“Selamat ulang tahun ya, Mbak. Semoga panjang umur, sehat selalu, tercapai apa yang dicinta dan citakan. Semoga dipertambahan usia embak dan blognya ini, semakin berkah dan diberkati oleh Tuhan. Pokoknya yang bagus-bagus ajalah dan selalu menginspiarsi ya, Mbak, melalui tulisannya.)

Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”

Witri Prasetyo AjiCompetitionNIKAH ATAU KULIAH?   NIKAH ATAU KULIAH? Pernah lihat kan, iklan di tivi yang pertanyannya, “Nikah atau kuliah?” Jujur, setiap kali menonton iklan itu, hati ini terasa perih dan mata langsung berkaca-kaca. Rasanya saya ingin berteriak sekeras mungkin, marah, memukul apa yang ada di sekeliling saya. Terlihat lebay? Ya. Tapi begitulah...

Comments

comments