KURANGKUM DUKAKU DALAM SEBUAH TULISAN

KURANGKUM DUKAKU DALAM SEBUAH TULISAN. Jika mereka berpikir aku tidak merasakan kehilangan, mereka salah. Jika mereka pikir aku tak sedih karena tiada air mata, mereka juga salah. Hatiku merasa kehilangan dan akupun juga merasakan kesedihan. Tapi air mata tak perlu diumbar, karena sejatinya rasa itu ada dalam hati dan cukup Tuhan dan diri sendiri yang mengetahuinya.

17 tahun yang lalu, saat usiaku baru menginjak angka 8 sementara adikku baru berusia 4 bulan, aku kehilangan seorang kakek. Kakek yang kata mereka sangat menyayangiku, bahkan aku bisa jadi cucu kesayangannya. Karena kata mereka, semenjak kelahiranku, batuk kakek menjadi sembuh.

Februari 2014, aku juga kehilangan seorang kakek. Tapi kakek dari suamiku. Kala itu, usia pernikahanku dengan suami baru menginjak bulan ke-8. Aku memang belum begitu dekat, tapi rasa kehilangan itu ada.

Dan Sabtu, 26 Maret 2016 aku kembali kehilangan seorang kakek. Setelah Beliau merasakan kesakitan, kini Tuhan memanggilnya. Antara ikhlas dan kehilangan. Ikhlas karena mungkin ini yang terbaik buat Beliau. Tapi kehilangan karena banyak ilmu kehidupan yang belum sempat aku pelajari darinya.

Kakek. Dulu aku sempat begitu dekat dengan kakek. Aku sering menginap di tempat kakek, bahkan sempat nonton bola bareng. Banyak nasehat kakek yang terekam dalam otakku. Tentang pendidikan dan pengalaman yang tiada aku lupa. Dan satu pepatah yang selalu kuingat : “Ojo rumongso bisa, nanging biso o rumongso” (Jangan merasa bisa, namun bisalah merasa).

Buat aku, meski kakek orang kuno, tapi aku tahu kalau kakek bukan seorang yang kolot.

Desember 2014, aku masih ingat ketika pagi mamakku dikabari bahwa kondidi kakek kritis. Kala itu, aku sehabis melahirkan BabyJuna. BabyJuna baru berusia sebulan. Aku berdoa pada Tuhan, panjangkan umur kakek, aku belum siap kehilangan Beliau. Beliau belum sempat meilhat anakku. Hingga Beliau bertahan.

Tapi, 11 Maret 2016, kakek kembali drop. Masuk rumah sakit dan keadaan Beliau begitu parah. Bahkan dokter sudah berkata kalau jantung dan paru-parunya sudah lemah. Lalu, 19 Maret 2016, keluarga membawa kakek pulang.

24 Maret 2016, aku melihat kondisi kakek sungguh berbeda dengan kakek yang selama ini aku kenal. Tubuhnya kecil, dan sungguh tak bisa kudefinisikan kecuali dengan air mata. Hingga aku harus menerima kenyataan, 26 Maret 2016 kakekku berpulang.

Air mataku memang tak seheboh mereka, mungkin karena aku sudah ikhlas. Kondisi kakek begitu memprihatinkan. Tapi tatkala peti kakek masuk mobil ambulance, sesak dan bulir itu tak bisa kubendung. Ini kenyataan, aku tak akan pernah lagi bisa melihat sosok kakek yang menjadi panutan. Ini kenyataan, aku sudah tak punya seorang kakek lagi.

Sedih itu pasti, kehilangan juga kurasakan. Seutuhnya ikhlas, jujur aku belum mampu. Tapi ini adalah takdir. Dan tiada kehilangan yang sungguh menyakitkan kecuali kematian. Doaku, semoga kakek tenang di sana dan mendapatkan tempat yang indah. semua amal ibadahnya di terima di sisiNya. Aamiin.

Witri Prasetyo AjiDiaryKURANGKUM DUKAKU DALAM SEBUAH TULISAN KURANGKUM DUKAKU DALAM SEBUAH TULISAN. Jika mereka berpikir aku tidak merasakan kehilangan, mereka salah. Jika mereka pikir aku tak sedih karena tiada air mata, mereka juga salah. Hatiku merasa kehilangan dan akupun juga merasakan kesedihan. Tapi air mata tak perlu diumbar, karena sejatinya rasa itu...

Comments

comments