KAPAL API : Cerita Masa Kecil, Ibu, dan Secuil Karya
KAPAL API : Cerita Masa Kecil, Ibu, dan Secuil Karya
Kopi?
Saya tidak tahu sejak kapan saya menjadi penikmat kopi. Yang saya ingat, kopi adalah sahabat setia bagi mereka yang berkarya dalam gulita.
Yang saya ingat, saya mulai berteman kopi semenjak saya masuk bangku kuliah. Kala itu, kantin sederhana di kampus hijau itu selalu menyediakan menu kopi instant, teh hangat, es teh dan tahu bakso (gorengan) yang menjadi cemilan andalannya.
Saya ingat betul, kala itu saya masih setia pada teh hangat sebagai teman ngemil tahu bakso. Saya sama sekali tak berani memesan ‘es’. Karena setiap meminum es, sudah bisa dipastikan kalau saya bakalan pilek. Dan Mbak Kantin sudah hafal betul itu.
Dan saya juga ingat, tentang dia—teman sekelas saya yang selalu setia dengan secangkir kopi hitam, kopi Kapal Api. Iya, kopi hitam.
Saya selalu mengejeknya, anak muda kok minumnya kopi hitam, sudah layaknya embah-embah saja. Tapi, dia selalu mampu menjawab ejekan saya, kemudian mengajak saya beradu mulut hingga saya marah karena kalah bicara. Argh… dia. yang tak pernah saya tahu tentang arti tatapannya dan secangkir kopi hitam hingga berakhir luka karena pada akhirnya saya memilih lelaki yang kini selalu merengkuh saya dalam suka dan duka.
***
Kopi, bersama cerita masa kecil…
Kopi tak hanya bercerita tentang satu cerita cinta tak terucapkan di kampus hijau saja. Melainkan, kopi membawa ingatan saya pada cerita masa kecil. Pada sebuah zaman yang terkadang ingin saya ulang kembali, tapi itu mustahil.
Kopi dalam ingatan masa kecil saya bukanlah cerita tentang kebiasaan meminum kopi, melainkan satu cerita tentang pohon kopi yang menjadi teman bermain saya.
Saya yang masih kecil adalah saya yang lebih suka bermain pasaran di rumah daripada bermain lari-larian bersama kawan. Saya benci berlari ngalor-ngidul. Saya lebih menikmati hari bersama mainan masak-masakan dan boneka saya.
Lantas, apa hubungannya bersama pohon kopi?
Rumah tempat saya tinggal mempunyai pekarangan yang terbilang luas. Pun dengan kebun di belakang rumah. Luas banget… Di kebun belakang rumah itu ada pohon durian, ada pohon pisang, ada pohon kelapa dan tentunya ada ‘beberapa’ pohon kopi. Saya kecil sering bermain di dekat kebun belakang rumah, ditemani almarhum Embah. Saya kecil sering memetik daun kopi dan menjadikan daun kopi sebagai uang-uangan saat bermain pasaran. Selain itu, saya kecil juga suka memetik bunga kopi dan mengumpulkan jejatuhan kopi lalu menumbuknya.
Dan cerita pohon kopi tak sebatas itu saja, tapi ada cerita tentang kayu pohon kopi. Dulu, ada permainan tradisional yang disebut benthik di tempat saya. Benthik ini adalah permainan yang dimainkan minimal 2 orang, ada 2 kayu di mana satunya panjang dan satunya pendek. Ada lubang kecil untuk memainkannya.
Biasanya, saat main benthik saya menggunakan kayu pohon kopi.
Masih ada lagi satu cerita tentang pohon kopi di masa kecil. Yaitu di masa lebaran. Kala itu, saya sudah kelas 6 SD atau kalau tidak salah sudah duduk di bangku SMP.
Kalau tidak salah, waktu itu Lebaran. Saya kepengen banget yang namanya bakdhan (bersilahturahmi). Tetapi sayangnya hanya di hari lebaran pertama sampai ketiga saja orang tua saya mengajak bakdhan. Itupun sudah termasuk ke tempat sanak saudara dan orang sekampung.
Saya kecil merasa bosan dan kesepian. Suasana masih berbau lebaran, tapi Cuma ndekem di rumah. Saya kecil akhirnya ikut tetangga depan rumah untuk bakdhan ke tempat saudara-saudaranya.
Satu cerita indah yang sampai sekarang selalu saya kenang, saya kecil yang biasanya kemanapun sudah diajak naik motor sama orang tua, kala itu dengan semangat 45 dan hati bergembira, bakdhan bersama tetangga depan rumah dengan berjalan kaki. Padahal, tempat yang kami kunjungi itu bisa terbilang jauh. Bukan hanya sekilo dua kilo saja, melainkan puluhan kilometer.
Tetangga saya mengajak saya ngancas (mencari jalan pintas). Saya diajaknya lewat tengah kebun kopi. Dia juga bercerita, dia sering mencari reruntuhan kopi di kebun itu. Setelah kopinya terkumpul banyak, lalu dijualnya ke pasar.
Argh…
Tentang pohon kopi. Sungguh, itulah cerita erat yang sampai saat ini terekam indah dalam ingatan saya. Tentang cerita masa kecil yang tak lagi saya temui di zaman now.
Dari cerita pohon kopi, hingga kesukaan keluarga menyeduh kopi di malam hari…
Dan saya lanjutkan cerita kembali, masih tentang kopi. Kali ini bukan tentang pohon kopi, melainkan tentang kopi. Tentang kebiasaan keluarga, terutama Ibu, yang tak pernah absen untuk menyeduh kopi.
Sesuatu telah membuat Ibu suka begadang malam. Bukan hanya Ibu, melainkan juga Bapak. Mantra manjur yang bakalan membuat mereka betah melek adalah secangkir kopi. Secangkir kopi Kapal Api. Bahkan sampai saat ini, kopi Kapal Api adalah list wajib dalam belanja bulanan saya.
Kebiasaan orang tua saya akan minum kopi Kapal Api itu tak lagi rahasia. Mertua saya hafal betul. Bahkan, setiap mertua mengunjungi orang tua saya, kopi Kapal Api adalah oleh-oleh wajib yang tak terlupakan.
Pernah, saya mencoba membelikan orang tua saya kopi lain. Tapi yang terjadi? Mereka justeru membeli lagi kopi Kapal Api ke warung tetangga.
Argh… Kapal Api… seolah ada ramuan khusus yang membuat keluarga tak mampu melepaskanmu.
Dari kebiasaan meminum kopi, hingga terbitlah secuil karya…
Sudah akrab dengan pohon kopi sedari masih kecil, lalu selalu dekat dengan mereka penikmat kopi. Mulai dari kebiasaan keluarga, terutama Ibu sampai dengan seseorang yang pernah menjadi bagian indah dalam perjalanan di kampus biru. Akhirnya… kopipun juga memeluk erat saya dan selalu menemani malam saya.
Saya mulai menyukai kopi. Tiada hari tanpa kopi. Apalagi disaat saya mulai mengenal menulis dan blogging, pekerjaan yang selalu saya kerjakan di kala mereka terlelap.
Secangkir kopi, akhirnya meracuni saya untuk bercumbu bersama malam. Cumbuan mesra yang akhirnya melahirkan secuil karya. Membawa saya pada perkenalan dalam dunia maya yang berakhir pertemuan indah dalam sepasang tatap mata.
Argh, kopi. Saya tak pernah tahu, kekuatan apa yang kau miliki. Sungguh, kopi adalah kenangan, kopi adalah serita, dan kopi adalah tentang karya.
***
Aku tersenyum dalam kenangan. Menyeduh secangkir kopi Kapal Api. Iya, kini kalian tahu bukan, mengapa kopi Kapal Api jelas lebih enak dibandingkan dengan kopi-kopi lain yang pernah kutemui? Dari cerita di atas mungkin kalian mengerti, kopi Kapal Api adalah kenangan tentang seseorang, kopi Kapal Api adalah mantra bagi orang tuaku, dan kopi Kapal Api adalah temanku bercumbu dalam malam hingga lahirnya secuil karya.
Ya, #KapalApiPunyaCerita yang tak mampu mereka mengerti…
Cerita ini kutulis disaat sore nan cerah. Di teras rumah dan ditemani secangkir kopi bersama tumpukan karya, Witri Prasetyo Aji.
Boyolali, 7 Desember 2017
Witri Prasetyo Aji
Kopi Kapal Api Punya Cerita
https://diajengwitri.id/2017/12/07/kapal-api/Competition#KapalApiPunyaCerita,Kapal Api,Kopi Kapal Api,Kopi Kapal Api Jelas Lebih EnakKAPAL API : Cerita Masa Kecil, Ibu, dan Secuil Karya Kopi? Saya tidak tahu sejak kapan saya menjadi penikmat kopi. Yang saya ingat, kopi adalah sahabat setia bagi mereka yang berkarya dalam gulita. Yang saya ingat, saya mulai berteman kopi semenjak saya masuk bangku kuliah. Kala itu, kantin sederhana di kampus hijau...Witri Prasetyo AjiWitri Prasetyo Ajiwitinduz2@gmail.comAdministratorHappy Wife Happy Mom Author Bloggerdiajengwitri.id - Lifestyle Blogger
Mantab!!!! Secangkir kopi bersama karya.. terus berkarya ya say
Aku ga terlalu addict sama kopi. Sesekali aja. Tapi kapal api emang lumayan enak sih rasanya
Suamiku yang suka minum kopi, aku bagian membuatkan kopinya aja 🙂
Buku-buku karyanya banyak banget mbak! Ih, keren.. Aku ga terlalu suka ngopi sih, tapi kopi kapal api selalu ada di rumahku.
Dari dulu kapal api memang favorit yaa… sekarang saya selalu nyetok kapal api di rumah, suami suka banget 😀
Jadi kangen kampung drh baca ini, halaman belakang rumah emakku jgbada pohon duren, kakao, kopi 🙂
Kopi kapal api memang punya cita rasa dan wangi yang khas ya.