Site icon diajengwitri.id – Lifestyle Blogger

Heri Chandra Santoso Hidupkan Sastra di Desa Boja

Apa yang ada dibenak teman-teman ketika mendengar kata ‘sastra’? Sebuah buku? Novel? Atau, tata bahasa yang begitu berat seperti puisi?

Berbicara tentang sastra, sastra adalah sebuah karya seni manusia yang berupa lisan ataupun tulisan yang mempunyai makna atau keindahan tertentu. Biasanya, sastra ini berbentuk karya fiksi. Dan  karya sastra juga sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari karena karya sastra dapat memberi kesadaran pada pembacanya. Contoh dari karya sastra adalah : puisi, pantun, cerpen, novel, legenda, dongeng, hikayat, dan yang lainnya.

Saya sendiri, jujurly adalah seseorang yang menyukai sastra. Bukan hanya suka membaca, tapi juga suka menulis puisi,  cerpen dan novel. Dan suatu kebanggan bagi saya tatkala karya sastra saya diterbitkan dalam sebuah buku.

Ada sebuah asa dalam benak saya, mengajak anak-anak di sekitar untuk menyukai sastra. Rasanya ingin sekali mengajak anak-anak gemar membaca di gengah gempuran game online dan media sosial. Apalagi zaman sekarang mendapatkan buku lebih mudah daripada dulu—zaman saya masih kecil.

Tentang masa kecil, inginku baca buku tapi tak ada toko buku

Saya masih ingat sekali waktu saya masih SD. Saya suka sekali membaca cerita rakyat. Saya juga suka membaca komik atau dongeng yang ada di majalah seperti majalah Bobo. Akan tetapi, di kota saya tidak ada toko buku. Teman-teman sekeliling sayapun juga tidak ada yang punya buku-buku cerita.

Jadi, andalan saya jika ingin membaca buku adalah pinjam di perpustakaan sekolah yang jarang banget dibuka. Koleksi bukunya juga tidak lengkap. Hingga suatu ketika ada KKN dari sebuah universitas di Jogja yang ke desa tempat saya tinggal, mereka membawa banyak sekali majalah. Saya dan teman-teman sungguh bahagia luar biasa. Kami tidak hanya bisa membaca, tapi juga diberi. Dan sepertinya, itulah majalah pertama kami.

Tantangan membaca di zaman sekarang

Kalau dulu kami kurang bisa menikmati karya sastra lantaran sulitnya mendapatkan buku, berbeda dengan sekarang. Zaman sekarang mendapatkan buku memang lebih mudah, di kotaku tinggal sudah ada toko buku, bahkan banyak toko penjual ATK yang juga menjual buku bacaan. Tidak hanya itu saja,sekarang kita juga bisa membeli buku secara online. Harga buku juga tak semahal dulu. Akan tetapi.. saat ini kita bersaing dengan teknologi.

Lantas, bagaimana caranya menghidupkan sastra di tengah gempuran teknologi?

Seorang lelaki dari Kendal seolah memberikan inspirasi pada saya. Lelaki yang merupakan alumni Ilmu Budaya Universitas Diponegoro ini memberi inspirasi, menghidupkan sastra di desa.

Beliau adalah Heri Chandra Santoso, pria kelahiran Kendal, 22 Mei 1982 yang menghidupkan sastra di Desa Boja, Kendal. Heri adalah seorang jurnalis. Beliau mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards (SIA) Tahun 2011 dengan judul Menghidupkan Sastra dari Desa Boja.

Awalnya, Heri mendengar sebuah percakapan tetangganya (antara bapak dan anak). Kala itu ada seorang anak yang hendak meminta buku pada bapaknya. Akan tetapi, buat makan saja susah, bagaimana bisa membeli buku? Dan hal tersebut ternyata cukup mengganggu Heri. Apalagi itu juga dialami oleh kebanyakan anak di daerahnya. Buku merupakan suatu hal yang mewah dan mahal.

Dengan bantuan sahabatnya—Sigit Susanto—yang selama ini tinggal di Swiss, Heri akhirnya mempunyai ide untuk memperkenalkan bahasa dan sastra kepada warga sekitar desanya.

Hingga akhirnya, Sigit yang beristerikan Perempuan bule dan tinggal di Swiss itu menyediakan rumahnya yang berada di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah untuk menjadi pondok bacaan, sekaligus padepokan sastra. Dan diberi nama Pondok Maos Guyub yang berdiri pada tahun 2006.

Awalnya, Pondok Maos Guyub hanya mengoleksi buku-buku yang merupakan koleksi pribadi Heri dan Sigit. Buku yang ada di Pondok Maos Guyub inipun beragam. Ada yang bertema umum, dan banyak dari koleksi buku itu bertemakan sastra, karya para masterpiece dan peraih nobel sastra.

Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Heri dan Sigit karena antusias warga. Setiap hari, ada sekitar 40 sampai 50 warga yang datang ke Pondok Maos Guyub. Dan itu membuat Heri dan Sigit tidak puas. Mereka tidak hanya menyediakan ruang baca saja, melainkan juga ingin menyediakan sebuah ruang untuk bersapa, berbagi pengalaman, dan ruang untuk belajar bersama.

Setelah mendirikan Pondok Maos Guyub, Heri kembali melakukan aksi lainnya untuk menghidupkan sastra di Desa Boja. Heri melakukan inovasi dan kreasi yaitu dengan cara mengenalkan sastra dengan bersepeda keliling kampung. Dan ternyata, aksi dari Heri tersebut banyak menarik minat warga hingga dimuat di media massa.

Karena banyak yang terinspirasi akan aksi Heri memperkenalkan sastra kepada warga Boja, akhirnya banyak sekali warga di luar Boja yang menyumbangkan buku-bukunya ke Pondok Maos Guyub. Hingga akhirnya pada tanggal 3 Agustus 2008, Heri dan Sigit mengubah nama Pondok Maos Guyup menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM).

Nama Medini pada KLM ini diambil dari nama perkebunan teh Medini yang berada di lereng sebelah barat Gunung Ungaran. Dan kini, dari perpustakaan gratis, KLM bermetamorfosa menjadi komunitas penikmat dan pecinta sastra.

Beberapa kegiatan Komunitas Lereng Medini (KLM) antara lain :

Komunitas Lereng Medini (KLM) juga mengadakan event-event seperti :

KLM juga pernah menggelar acara besar seperti acara yang bertajuk Kopi Puisi dan Kita yang digelar pada tanggal 23 November 2019 di sebuah kafe yang berada di Boja.

Selain itu, KLM juga mempunyai program unggulan yaitu Kemah Sastra yang dulunya bernama Parade Obrolan Sastra. Acara Kemah Sastra ini sudah berlangsung 4 kali, biasanya dihadiri 150 an siswa-siswi di daerah Kendal. Karena KM memang memberikan undangan ke sekolah-sekolah yang berada di sekitar Kendal dan pihak sekolah akan mengirimkan beberapa siswa-siswinya.

Sejak Kemah Sastra digelar, Kemah Sastra sudah menghadirkan beberapa maestro sastra dan sastrawan, seperti Eka Kurniawan, F Rahardi, Gus TF Sakai, Martin Aleida, Ahmadun Y Herfanda, Korie Layun Rampan, Iman Budi Santosa, Bandung Mawardi, dan Triyanto Triwikromo. Menurut saya ini keren sekali 😊

Harapan saya, aksi Heri menghidupkan sastra ini bisa ditiru di daerah lainnya. Sebelum mengenalkan sastra, mari diawali dengan suka membaca. Seperti kata Heri, “sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan.”

Jadi, mari kita kenalkan anak-anak dengan membaca sedari dini. Jika kita belum bisa seperti Heri yang menghidupkan sastra di daerahnya, setidaknya mari kita mulai menghidupkan sastra dari lingkungan keluarga.

Oh ya, penerima apresiasi SATU Indonesia Awards (SIA) yang membuat saya terinspirasi bukan hanya Heri Chandra Santoso saja, melainkan ada juga Lilik Fajar Riyanto yang merupakan anak muda pengrajin gamelan dari kota Boyolali 😊

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba Anugerah Pewarta Astra – Semangat Untuk Hari Ini dan Masa Depan Indonesia

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

Referensi :

Comments

comments