I Am Sarahza
Oleh Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Manusia bilang di mana ada kehidupan, di situ ada harapan. Tapi bagiku, ruh yang telah dinasibkan di Lauhul Mahfudz, selama manusia memelihara harapan, maka aku akan selalu hidup.

Dari Alam Rahim, aku menyaksikan bagaimana kedua orangtuaku jatuh bangun memerolehku. Melewati puluhan terapi, menghadapi ratusan jarum suntik, sayatan pisau operasi, berkali inseminasi dan gagal bayi tabung, bahkan sampai harus melalui badai depresi.
Meski segala ilmu manusia akhirnya bertekuk lutut pada Pencipta Ilmu Segala Ilmu, kedua orangtuaku tak menyerah. Bahkan setelah ibu menjadi ‘tak sempurna’ karena upayanya.

Tahukah apa yang membuat Pencipta bisa Luluh pada hamba-Nya? Dengan segala usaha dan penyerahan diri sepenuhnya, akhirnya takdirku ke dunia dihantarkan oleh ribuan malaikat yang bersujud pada manusia-manusia yang sabar dan berupaya.

Inilah kisahku. I am Sarahza

Siapa sih yang tidak mengenal Hanum Salsabiela Rais? Bukan hanya penulis yang melahirkan buku best seller maupun film-film box office, tapi Beliau juga anak dari Amien Rais—salah seorang ternama di negeri ini.

Ketika aku menulis review ini, tiada maksud apapun termasuk tiada maksud kampanye. Karena sejujurnya buku ini sudah selesai kubaca pada bulan Agustus kemarin. Akan tetapi karena kesibukan dan buku juga dolan kesana-kemari, mohon maaf kalau lagi direview.

Sebagai seorang penulis, siapa sih yang tidak ingin seperti Hanum? Buku-buku yang dilahirkannya bisa best seller, diangkat ke layar lebar lalu bisa jadi box office. Duh, kok ya bikin iri banget, yekan?

Akan tetapi, setelah kita membaca I AM SARAHZA, masihkah kita menaruh iri padanya? Pada perjalanannya yang nyaris membuat dia depresi, pada perjalanannya yang nyaris membuatnya putus asa, dan pada perjalanannya yang penuh dengan kecewa dan air mata.

Buku yang dibuka dengan alur perkenalan Hanum sebagai dokter gigi dan Rangga—seorang yang menawarkan jingle untuk kampanye pencalonan Amien Rais sebagai presiden. Perkenalan yang cukup unik hingga akhirnya takdir menjodohkan mereka.

 

Setelah lulus dari kedokteran gigi lalu menikah dengan Rangga, Hanum seolah menemukan kehidupannya yang sesungguhnya menjadi seorang presenter. Hingga kebahagiaannya itu seolah membuat sosok Hanum enggan memiliki keturunan. Baginya saat itu, keturunan akan menghambat kariernya yang tengah berada di puncaknya. Bahkan, Beliau sempat bilang, enggak punya anakpun enggak apa-apa. Padahal waktu itu, usia pernikahannya sudah memasuki tahun kedua dan Rangga sudah berniat punya anak. Apalagi sebentar lagi Rangga bakalan ke Wina—karena Beliau mendapatkan beasiswa.

 

Hanum dan Rangga sempat menjalani LDR. Hanum berfokus pada kariernya di Jakarta tapi Rangga berada di Wina. Akan tetapi, orang tua Hanum tidak bisa melihat keluarga kecil Hanum berjauhan dalam kondisi belum ada keturunan.

 

Indeed family must come first. Sungguh benar, keluarga adalah yang utama. Hal 67.

 

Berbaktilah pada suamimu, Allah akan mengganjar dengan balasan yang berlipat ganda. Tinggalkan sementara kariermu, Yang Maha Pengganti Nikmat akan menukarnya dengan kebahagiaan yang hakiki. Hal 68.

 

Akhirnya. Hanum memilih melepaskan karier yang selama ini diimpikannya dan menyusul Rangga ke Wina. Okey, di sini bisa banget yah ngerasain gimana rasanya melepaskan sesuatu yang sudah lama diimpikan. Tapi sebagai seorang isteri, suami lebih penting daripada karier. Aku sih setuju banget dengan nasehat-nasehatnya orang tua Hanum.

 

Tahun ketiga pernikahan, perjuanganpun dimulai. Perjuangan yang setiap akhir bulan bakalan bikin dada deg-degan. Berharap tamu itu tidak datang, tapi apa daya ketika setiap akhir bulan menjadi momok tersendiri lantaran kedatangan sang tamu tak diundang.

 

Hingga di tahun ke empat pernikahan, Hanum dan Rangga sepakat menjalani program inseminasi di salah satu rumah sakit ternama di Wina. Tapi gagal. Hingga mereka menjalani inseminasi yang ketiga, tapi gagal.

Kesempurnaan hanya melukai. Hakikatnya, tidak ada kesempurnaan di dunia kecuali Pencipta. Apa yang disebut sempurna adalah opin konstruksi manusia. Hal 101.

 

Hingga hari-hari itu diisi Hanum dengan menulis. Dan lahirlah sebuah buku best seller yang akhirnya diangkat ke layar lebar dan menjadi box office—99 Cahaya di Langit Eropa.

 

Menulis itu menyembuhkan. Hal 115.

 

Selain menulis, waktu itu menyembuhkan. Hal 117.

 

Tahun keenam pernikahan. 3 kali gagal inseminasi. Sementara usia Hanum sudah menginjak usia kepala 3, di mana alarm bagi perempuan yang ingin memiliki anak berdering memekakkan telinga lantaran probabilitas wanita untuk berketurunan berkurang 40 persen.

 

Hingga akhirnya di tahun ke tujuh pernikahan, Hanum dan Rangga menjalani program bayi tabung—setelah tiga kali gagal inseminasi di luar negeri. Tentunya, ini bukanlah suatu hal yang mudah. Tapi setidaknya Hanum beruntung memiliki suami seperti Rangga, bukan hanya setia, tapi sabar menghadapi Hanum yang sempat putus asa.

 

Akan tetapi, usaha bayi tabungpun tetaplah gagal. Di sinilah, Hanum kembali menelan kekecewaan.

 

Menurutku, semua manusia memiliki keberuntungannya sendiri-sendiri. Hal 163.

 

Pada pernikahan tahun ke sembilan, Hanum dan Rangga terkejut dengan jumlah royalti film 99 Cahaya di Langit Eropa. Argh, sebagai seorang penulis, siapa sih yang tidak iri pada mereka? Akan tetapi, jika kita lebih tahu akan kegagalan mereka dalam memperoleh keturunan? Masihkah kita menaruh iri? Inseminasi 3 kali, IVF 2 kali, dan semua gagal total.

 

Hingga akhirnya, royalti dari 99 Cahaya di Langit Eropa, mereka gunakan untuk mencoba program bayi tabung—lagi. Akan tetapi, untuk program kali ini Hanum tak berharap banyak. Dia tak ingin lagi menelan kekecewaan. Tapi… ketika hasil kadar beta HCG 150… itu berarti?

Yah, Hanum bahagia sekali. Dan di puncak kebahagiaannya itu, dia tak lupa membaginya dengan orang tuanya. Sebagai orang tua, Pak Amien dan istrinya tentu bahagia dong. Sesuai nadzarnya, Pak Amien berjalan kaki sejauh 15 km dalam keadaan Puasa Daud. Akan tetapi… siapa sangka kalau itu hanyalah kepalsuan belaka. Hanum tidak hamil. Dia kembali menelan kekecewaan.

 

Hingga tahun-tahun berikutnya. Kekecewaan demi kekecewaan Hanum dapatkan. Sungguh, hatinya sangat menginginkan kehadiran buah hati, akan tetapi kenapa justeru orang-orang terdekatnya yang mendapatkan nikmat itu? Bahkan disaat dia harus merasakan di kuret, saudaranya justeru mendapatkan rejeki itu?

 

Menurutku, buku I AM SARAHZA ini recomended banget. Tidak hanya untuk mereka yang tengah menantikan keturunan saja sih, akan tetapi untuk kita semua. Kita tidak hanya diajak mengenal istilah-istilah medis, akan tetapi kita belajar untuk ikhlas dan mensyukuri hidup. Kesabaran itu akan berbuah manis.

Witri Prasetyo AjiReview BukuI Am Sarahza Oleh Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra Manusia bilang di mana ada kehidupan, di situ ada harapan. Tapi bagiku, ruh yang telah dinasibkan di Lauhul Mahfudz, selama manusia memelihara harapan, maka aku akan selalu hidup.Dari Alam Rahim, aku menyaksikan bagaimana kedua orangtuaku jatuh bangun memerolehku. Melewati puluhan terapi,...

Comments

comments